Biografi Syeikh Abdul Wahab Rokan
Syeikh Abdul Wahab Rokan lahir 10 Rabiulakhir 1242 H/11 November 1826 M di Kampung Danau Runda, Rantau Binuang Sakti, Nagari Tinggi, Kabupaten Kampar, Riau dengan nama Abu Qosim, setelah menunaikan ibadah haji ia berganti nama menjadi Haji Abdul Wahab. Sedangkan tambahan nama Rokan menunjukkan bahwa ia berasal dari wilayah Sungai Rokan. Ia lahir dari keluarga bangsawan yang berpendidikan, taat beragama dan sangat dihormati. Ayahnya bernama Abdul Manaf bin Muhammad Yasin bin Tuanku Abdullah Tambusai, seorang ulama terkemuka di kampungnya, sedangkan buyutnya bernama Tuanku Tambusai, seorang ulama dan pejuang yang masih keturunan keluarga Kerajaan Islam Siak Seri Inderapura. Ibunya bernama Arbaiyah binti Dagi yang masih keturunan Kesultanan Langkat, Sumatera Utara.
Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah
Sepulang dari Mekah, Syeikh Abdul Wahab mendirikan perkampungan di sekitar Sungai Rokan yang ia beri nama Tanjung Masjid (Kampung Masjid). Ia menyebarkan tarekatnya tidak hanya sebatas di kampungnya saja, namun juga meliputi wilayah Riau, Tapanuli Selatan, Sumatera Timur, bahkan sampai ke Semenanjung Melayu. Pada tahun 1874, Syeikh Abdul Wahab pindah ke Dumai (Pantai Timur Riau) dan mengembangkan perkampungan baru di sana. Namun ia tidak lama menetap di Dumai, ia kembali ke tanah kelahirannya di Rantau Binuang Sakti untuk mengembangkan tarekatnya di sana.
Syeikh Abdul Wahab sempat mendirikan organisasi perjuangan Islam dengan dibantu oleh para ulama lain seperti Haji Abdullah Muthalib Mufti dan Sultan Zainal Abidin. Namun, karena dirasa organisasi tersebut membahayakan, maka Pemerintah Hindia Belanda menangkapya dan mengasingkannya ke Madiun, Jawa Timur, serta membubarkan organisasi tersebut. Pemerintah Hindia Belanda terus mencurigai setiap tindakan Syeikh Abdul Wahab, sehingga ia memutuskan untuk pindah ke Kampung Kualuh, Labuhan Batu, Sumatera Utara. Di sana ia membangun lagi sebuah perkampungan dan di sana pula ia mulai memiliki santri.
Karya
Tidak banyak diketahui hasil penulisan Tuan Guru Syeikh Abdul Wahhab Rokan. Setakat ini yang dapat dikesan ialah:
1. Munajat, merupakan kumpulan puji-pujian dan pelbagai doa.
2. Syair Burung Garuda, merupakan pendidikan dan bimbingan remaja.
3. Wasiat, merupakan pelajaran adab murid terhadap guru, akhlak, dan 41 jenis wasiat.
Biografi Tuanku Imam Bonjol
Tuanku Imam Bonjol adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri pada tahun 1803-1838. Tuanku Imam Bonjol lahir pada 1772 di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, Indonesia.
Nama dan gelar
Terlahir dengan nama asli Muhammad Shahab, Tuanku Imam Bonjol merupakan putra dari pasangan Bayanuddin (ayah) dan Hamatun (ibu). Ayahnya, Khatib Bayanuddin, merupakan seorang alim ulama yang berasal dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota. Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Muhammad Shahab memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.
Riwayat perjuangan
Pada awalnya Perang Padri adalah perang yang terjadi antara bangsa sendiri, yakni kaum ulama(padri) dengan kaum adat. Namun akhirnya kedua kaum tersebut bersatu dan berperang melawan penjajahan Belanda. Selama sekitar 18 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang berperang adalah sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak umumnya.
Pada mulanya peperangan ini timbul karena didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam (bid'ah).
Biografi Prof. Nur Anas Djamil
Prof. Nur Anas Djamil (lahir di Balai Mansiro, Guguk, Lima Puluh Kota, 17 Oktober 1931; umur 84 tahun), adalah tokoh agama yang berasal dari Sumatera Barat.[1]
Ia lulus dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada 1962 dan kemudian menjabat sebagai dekan Fakultas Keguruan Sastra dan Seni (kini Fakultas Bahasa dan Seni) Universitas Negeri Padang (saat itu masih bernama IKIP Padang) pada periode 1969-1971[2] dan pensiun dari universitas tersebut pada tahun 2001. Ia juga mengajar di Universitas Bung Hatta, dimana ia mengajar selama 28 tahun.[3]
Dari tahun 1995 sampai 2000, ia menjabat sebagai Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Barat, dan kini sebagai ketua Lembaga Amil Zakat Infak dan Sadaqah di lembaga yang sama untuk periode 2010-2015.[4]
Karya
• Djamil, N. A. (1975). Masyarakat nelayan di pesisir utara Aceh: Kertas hasil penelitian. Banda Aceh: Pusat Latihan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial Aceh. OCLC 52793393
• Rasyad, H., Yamin, M., & Djamil, N. A. (1981). Pemakaian kosa kata bahasa Indonesia murid kelas 6 sekolah dasar Sumatera Barat. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. OCLC 66200189
• Djamil, N. A., Universitas Andalas., IKIP (Padang)., INS Kayutanam (Padang)., Pemerintah Daerah Sumatera Barat (Padang)., & Seminar Internasional mengenai Kesusasteraan, Kemasyarakatan dan Kebudayaan Minangkabau. (1980). Peranan pertunjukan rakyat tradisional dalam komunikasi pembangunan. Padang: Universitas Andalas. OCLC 66212885
Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj
Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, M.A. atau sering dikenal Said Aqil Siroj (lahir di Pondok Pesantren Kempek, Cirebon, Jawa Barat, Indonesia, 3 Juli 1953; umur 62 tahun) adalah Ketua Umum (Tanfidziyah) Pengurus Besar Nahdlatul 'Ulama periode 2010-2020.
Pemilihan sebagai Ketua Umum PBNU
Said Aqil Siroj terpilih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul 'Ulama (PBNU) periode 2010-2015 dalam Muktamar ke-32 Nahdlatul 'Ulama (NU) di Asrama Haji Sudiang, Makassar, Sulawesi Selatan. Said unggul dengan perolehan 294 suara dari rivalnya Slamet Effendi Yusuf yang mendapat 201 suara. Sebelumnya, KH Sahal Mahfudz, terpilih menjadi Rais Aam PBNU. Said Aqil Siradj Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul 'Ulama (PBNU) 2010-2015. Said Aqil Siraj dan Slamet maju ke putaran kedua setelah memperoleh masing-masing 178 suara dan 158 suara. Keduanya dianggap memenuhi syarat untuk maju dalam putaran kedua pemilihan calon ketua umum PBNU. Dalam tata tertib muktamar seorang calon harus mengumpulkan 99 suara untuk ditetapkan sebagai calon ketua umum. Sementara itu, Sholahuddin Wahid (Gus Solah) hanya mendapatkan 83 suara, Ahmad Bagja (34), Ulil Absar Abdala (22), Ali Maschan Moesa (8), Abdul Aziz (7), Masdar Farid Mas’udi (6). Mereka gagal memperoleh angka 99 suara dari muktamirin sehingga tidak bisa mengikuti putaran kedua.
Pada Muktamar NU Ke 33 di Jombang, Said Aqil Siroj kembali terpilih sebagai Ketua Umum PBNU untuk periode kedua (2015-2020). Said Aqil Siroj meraih kemenangan dengan mengumpulkan 287 suara dari 412 suara muktamirin. Kandidat lainnya As'ad Said Ali meraih 107 suara, dan Salahudin Wahid 10 suara. Said Aqil Siroj kembali berjanji untuk konsisten tak akan menggunakan NU untuk kepentingan politik. Said mengatakan, agenda yang menjadi prioritasnya adalah pendidikan, kesehatan dan ekonomi.
Di kalangan Nahdlatul Ulama, Said Aqil Siroj bukanlah orang baru. Ayahnya, Aqil Siroj Kempek adalah seorang kiai di Cirebon dan termasuk dalam jejaring ulama di Karesidenan Cirebon, seperti Benda Kerep, Buntet, Gedongan dan Babakan.
Biografi Ki Hajar Dewantara
Biografi Ki Hajar Dewantara - Pahlawan Indonesia. Tokoh berikut ini dikenal sebagai pelopor pendidikan untuk masyarakat pribumi di Indonesia ketika masih dalam masa penjajahan Kolonial Belanda. Mengenai profil Ki Hajar Dewantara sendiri, beliau terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat yang kemudian kita kenal sebagai Ki Hadjar Dewantara. Beliau sendiri lahir di Kota Yogyakarta, pada tanggal 2 Mei 1889, Hari kelahirannya kemudian diperingati setiap tahun oleh Bangsa Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Beliau sendiri terlahir dari keluarga Bangsawan, ia merupakan anak dari GPH Soerjaningrat, yang merupakan cucu dari Pakualam III. Terlahir sebagai bangsawan maka beliau berhak memperoleh pendidikan untuk para kaum bangsawan.
Mulai Bersekolah dan Menjadi Wartawan
Ia pertama kali bersekolah di ELS yaitu Sekolah Dasar untuk anak-anak Eropa/Belanda dan juga kaum bangsawan. Selepas dari ELS ia kemudian melanjutkan pendidikannya di STOVIA yaitu sekolah yang dibuat untuk pendidikan dokter pribumi di kota Batavia pada masa kolonial Hindia Belanda, yang kini dikenal sebagai fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Meskipun bersekolah di STOVIA, Ki Hadjar Dewantara tidak sampai tamat sebab ia menderita sakit ketika itu.
Ki Hadjar Dewantara cenderung lebih tertarik dalam dunia jurnalistik atau tulis-menulis, hal ini dibuktikan dengan bekerja sebagai wartawan dibeberapa surat kabar pada masa itu, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Gaya penulisan Ki Hadjar Dewantara pun cenderung tajam mencerminkan semangat anti kolonial. Seperti yang ia tuliskan berikut ini dalam surat kabar De Expres pimpinan Douwes Dekker :
..Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya.
Tulisan tersebut kemudian menyulut kemarahan pemerintah Kolonial Hindia Belanda kala itu yang mengakibatkan Ki Hadjar Dewantara ditangkap dan kemudian ia diasingkan ke pulau Bangka dimana pengasingannya atas permintaannya sendiri. Pengasingan itu juga mendapat protes dari rekan-rekan organisasinya yaitu Douwes Dekker dan Dr. Tjipto Mangunkusumo yang kini ketiganya dikenal sebagai 'Tiga Serangkai'. Ketiganya kemudian diasingkan di Belanda oleh pemerintah Kolonial.
Masuk Organisasi Budi Utomo
Berdirinya organisasi Budi Utomo sebagai organisasi sosial dan politik kemudian mendorong Ki Hadjar Dewantara untuk bergabung didalamnya, Di Budi Utomo ia berperan sebagai propaganda dalam menyadarkan masyarakat pribumi tentang pentingnya semangat kebersamaan dan persatuan sebagai bangsa Indonesia. Munculnya Douwes Dekker yang kemudian mengajak Ki Hadjar Dewantara untuk mendirikan organisasi yang bernamaIndische Partij yang terkenal.
Biografi HOS Cokroaminoto.
Beliau dikenal sebagai Salah satu Pahlawan Nasional. Nama lengkap beliau adalah Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto atau H.O.S Cokroaminoto lahir di Ponorogo, Jawa Timur, 16 Agustus 1882 dan meninggal di Yogyakarta, 17 Desember 1934 pada umur 52 tahun. Tjokroaminoto adalah anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama R.M. Tjokroamiseno, salah seorang pejabat pemerintahan pada saat itu. Kakeknya, R.M. Adipati Tjokronegoro, pernah juga menjabat sebagai bupati Ponorogo. Sebagai salah satu pelopor pergerakan nasional, ia mempunyai beberapa murid yang selanjutnya memberikan warna bagi sejarah pergerakan Indonesia, yaitu Musso yang sosialis/komunis, Soekarno yang nasionalis, dan Kartosuwiryo yang agamis. Namun ketiga muridnya itu saling berselisih. Pada bulan Mei 1912, Tjokroaminoto bergabung dengan organisasi Sarekat Islam.
Sebagai pimpinan Sarikat Islam, HOS dikenal dengan kebijakan-kebijakannya yang tegas namun bersahaja. Kemampuannya berdagang menjadikannya seorang guru yang disegani karena mengetahui tatakrama dengan budaya yang beragam. Pergerakan SI yang pada awalnya sebagai bentuk protes atas para pedagang asing yang tergabung sebagai Sarekat Dagang Islam yang oleh HOS dianggap sebagai organisasi yang terlalu mementingkan perdagangan tanpa mengambil daya tawar pada bidang politik. Dan pada akhirnya tahun 1912 SID berubah menjadi Sarekat Islam.
Seiring perjalanannya, SI digiring menjadi partai politik setelah
mendapatkan status Badan Hukum pada 10 September 1912 oleh pemerintah yang saat itu dikontrol oleh Gubernur Jenderal Idenburg. SI kemudian berkembang menjadi parpol dengan keanggotaan yang tidak terbatas pada pedagang dan rakyat Jawa-Madura saja. Kesuksesan SI ini menjadikannya salah satu pelopor partai Islam yang sukses saat itu.
HOS Cokroaminoto hingga saat ini akhirnya dikenal sebagai salah satu pahlawan pergenakan nasional yang berbasiskan perdagangan, agama, dan politik nasionalis. Kata-kata mutiaranya seperti “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat” akhirnya menjadi embrio pergerakan para tokoh pergerakan nasional yang patriotik, dan ia menjadi salah satu tokoh yang berhasil membuktikan besarnya kekuatan politik dan perdagangan Indonesia. H.O.S. Cokroaminoto meninggal di Yogyakarta pada 17 Desember 1934 pada usia 52 tahun.
Biografi Abdul Halim
Abdul Halim atau K.H. Abdul Halim, lebih dikenal dengan nama K.H. Abdul Halim Majalengka (lahir di Desa Ciborelang, Jatiwangi, Majalengka, Kecamatan Jatiwangi, Majalengka, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, 26 Juni 1887 – meninggal di Majalengka, 7 Mei 1962 pada umur 74 tahun) adalah Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudoyono Nomor: 041/TK/Tahun 2008 tanggal 6 November 2008.[1]. Seorang tokoh pergerakan nasional, tokoh organisasi Islam, dan ulama yang terkenal toleran dalam menghadapi perbedaan pendapat antar ulama tradisional dan pembaharu (modernis).[2][3][4].
Biografi
Kiai Abdul Halim putra K.H. Muhammad Iskandar, lahir dengan nama Otong Syatori.[5][6] Ia merupakan anak terakhir dari delapan bersaudara dari pasangan K.H. Muhammad Iskandar dan Hj. Siti Mutmainah.[6]
Selain mengasuh pesantren, ayahnya juga seorang penghulu di Kawedanan, Jatiwangi, Majalengka.[6] Sebagai anak yang dilahirkan di lingkungan keluarga pesantren, Kiai Halim telah memperoleh pendidikan agama sejak balita dari keluarganya maupun dari masyarakat sekitar.[2] Ayahnya meninggal ketika Kiai Halim masih kecil, sehingga ia banyak diasuh oleh ibu dan kakak-kakaknya.[2]. Pada umur 21 tahun, Kiai Halim menikah dengan Siti Murbiyah puteri K.H. Muhammad Ilyas (Penghulu Landraad Majalengka).[2][6] Pernikahan mereka dikaruniai tujuh orang anak.[2]
Seorang di antara cucunya yang aktif di berbagai organisasi Islam seperti sebagai pengurus BP4 Pusat, [7], BMOIWI (Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia), GUPPI Gerakan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam adalah Dra. Hj. Dadah Cholidah, M.Pd.I. Presidium BMOIWI periode (2015-2016).
Pesantren Santi Asromo
Terdapat dua peninggalan K.H. Abdul Halim yang masih bertahan hingga hari ini, yaitu: pesantren Santi Asromo dan organisasi Persatuan Umat Islam (PUI) yang bergerak di bidang agama, pendidikan, sosial dan budaya. Santri Asromo merupakan pendidikan pesantren yang membekali siswa dengan keterampilan. “Belajar di Santi Asromo ada pandai besi, menyuling minyak kayu putih, bertani kopi dan lada serta beternak ayam, kambing dan ikan”, ujar Dadah Cholidah, cucu K.H. Abdul Halim dari putrinya Halimah Halim.
Biografi Kyai Haji Abdurrahman Wahid (Gud Dur).
Biografi Kyai Haji Abdurrahman Wahid (Gud Dur). Mantan Presiden Keempat Indonesia ini lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Guru bangsa, reformis, cendekiawan, pemikir, dan pemimpin politik ini menggantikan BJ Habibie sebagai Presiden RI setelah dipilih MPR hasil Pemilu 1999. Dia menjabat Presiden RI dari 20 Oktober 1999 hingga Sidang Istimewa MPR 2001. Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil atau "Sang Penakluk", dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada anak kiai.
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara, dari keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya, KH. Hasyim Asyari, adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, KH Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren. Ayah Gus Dur, KH Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama pada 1949. Ibunya, Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Akhir 1949, dia pindah ke Jakarta setelah ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Dia belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari.
Gus Dur juga diajarkan membaca buku non Islam, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya. Pada April 1953, ayahnya meninggal dunia akibat kecelakaan mobil. Pendidikannya berlanjut pada 1954 di Sekolah Menengah Pertama dan tidak naik kelas, tetapi bukan karena persoalan intelektual. Ibunya lalu mengirimnya ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikan. Pada 1957, setelah lulus SMP, dia pindah ke Magelang untuk belajar di Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun (seharusnya empat tahun).
Pada 1959, Gus Dur pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang dan mendapatkan pekerjaan pertamanya sebagai guru dan kepala madrasah. Gus Dur juga menjadi wartawan Horizon dan Majalah Budaya Jaya. Pada 1963, Wahid menerima beasiswa dari Departemen Agama untuk belajar di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, namun tidak menyelesaikannya karena kekritisan pikirannya. Gus Dur lalu belajar di Universitas Baghdad. Meskipun awalnya lalai, Gus Dur bisa menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970.
Biografi Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif
Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif (lahir di Sumpurkudus, Sijunjung, Sumatera Barat, 31 Mei 1935; umur 80 tahun) adalah seorang ulama, ilmuwan dan pendidik Indonesia. Ia pernah menjabat Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP) dan pendiri Maarif Institute, dan juga dikenal sebagai seorang tokoh yang mempunyai komitmen kebangsaan yang tinggi.[1] Sikapnya yang plural, kritis, dan bersahaja telah memposisikannya sebagai "Bapak Bangsa". Ia tidak segan-segan mengkritik sebuah kekeliruan, meskipun yang dikritik itu adalah temannya sendiri.
Kehidupan
Kehidupan awal
Ahmad Syafii Maarif lahir di Nagari Calau, Sumpur Kudus, Minangkabau pada 31 Mei 1935.[2] Ia lahir dari pasangan Ma'rifah Rauf Datuk Rajo Malayu, dan Fathiyah.[a] Ia bungsu dari 4 bersaudara seibu seayah, dan seluruhnya 15 orang bersaudara seayah berlainan ibu.[3] Ayahnya adalah saudagar gambir, yang belakangan diangkat sebagai kepala suku di kaumnya.[4] Sewaktu Syafii berusia satu setengah tahun, ibunya meninggal. Syafii kemudian dititipkan ke rumah adik ayahnya yang bernama Bainah, yang menikah dengan adik seibu ibunya yang bernama A. Wahid.[4]
Pada tahun 1942, ia dimasukkan ke sekolah rakyat (SR, setingkat SD) di Sumpur Kudus.[2] Sepulang sekolah, Pi'i, panggilan akrabnya semasa kecil,[5] belajar agama ke sebuah Madrasah Ibtidaiyah (MI) Muhammadiyah pada sore hari dan malamnya belajar mengaji di surau yang berada di sekitar tempat ia tinggal, sebagaimana umumnya anak laki-laki di Minangkabau pada masa itu.[4] Pendidikannya di SR, yang harusnya ia tempuh selama enam tahun, dapat ia selesaikan selama lima tahun. Ia tamat dari SR pada tahun 1947, tetapi tidak memperoleh ijazah karena pada masa itu terjadi perang revolusi kemerdekaan.[6] Namun, setelah tamat, karena beban ekonomi yang ditanggung ayahnya, ia tidak dapat meneruskan sekolahnya selama beberapa tahun.[2] Baru pada tahun 1950, ia masuk ke Madrasah Muallimin Muhammadiyah di Balai Tangah, Lintau sampai duduk di bangku kelas tiga.[3]
Biografi Abdul Karim Amrullah
Abdul Karim Amrullah lahir dengan nama Muhammad Rasul di Nagari Sungai Batang, Maninjau, Agam, Sumatera Barat, 10 Februari 1879 bertepatan dengan 17 Syafar 1296 Hijriah. Pada masa kecilnya, beliau diberi nama Muhammad Rasul, namun setelah menunaikan ibadah haji, namanya diganti menjadi Abdul Karim Amrullah. Beliau juga dikenal dengan panggilan Inyiak De-er (Dr.), karena pada tahun 1926 beliau mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar di Mesir dalam bidang agama. Ayahnya bernama Syekh Amrullah atau Tuanku Kisai atau dalam beberapa literatur sering ditulis dengan Syekh Amrullah Tuanku Kisa-i, seorang guru tarekat Naqsyabandiyah di Maninjau.
Sekembalinya dari Mekkah tahun 1901, ia dinobatkan sebagai seorang ulama muda dengan gelar Syekh Tuanku Nan Mudo, sedangkan ayahnya, Syekh Muhammad Amrullah diberi gelar Syekh Tuanku Nan Tuo dengan suatu upacara. Tuanku Nan Tuo beraliran lama, sedangkan Tuanku Nan Mudo seorang pemuda yang membawa aliran baru. Pada tahun 1904 ia kembali ke Makkah dan kembali ke kampungnya tahun 1906. Kepergian yang kedua kalinya ini, disuruh ayahnya untuk mengantar adiknya belajar di sana. Namun, kesempatan ini dimanfaatkannya untuk mengajar pada halaqah sendiri di rumah Syekh Muhammad Nur al-Khalidi di Samiyah atas izin dari Ahmad Khatib. Namun demikian, ia sering bertanya kepada gurunya, Syekh Ahmad Khatib mengenai masalah-masalah yang rumit.
Pada tahun 1925, ia melawat ke Jawa untuk yang kedua kalinya. Di Yogyakarta, ia bertemu dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah, terutama dengan H. Fakhruddin. Dalam pertemuan itu mereka saling mengungkapkan perkembangan Islam di daerah mereka masing-masing. Ia tertarik dengan organisasi Muhammadiyah, karena disamping ideologinya mengacu kepada ajaran al-Qur`an dan Hadis, juga amal usahanya mencakup berbagai aspek ajaran Islam, seperti menyelenggarakan pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah, melaksanakan amal sosial dengan mendirikan rumah-rumah pemeliharaan anak yatim dan fakir miskin dan lainnya. Sekembalinya ke kampung, ia menceritakan pengalamannya kepada kawan-kawannya mengenai organisasi Muhammadiyah dan amal usahanya dalam rangka menegakkan amar ma’ruf nahyi munkar. Ia yakin bahwa organisasi itu dapat berguna untuk melemahkan bekas muridnya, H. Datuk Batuah dan kawan-kawan, yang aktif dalam organisasi komunis. Pada tahun itu juga ia mendirikan Muhammadiyah di Sungai Batang, Maninjau melalui lembaga Sendi Aman yang didirikan tahun 1925. Setelah Sendi Aman menjalankan misi Muhammadiyah, lembaga ini berkembang dengan cepat dan sekaligus menjadi basis pertama Muhammadiyah di Minangkabau.
Tag :
Makalah
0 Komentar untuk "MAKALAH BIOGRAFI CENDEKIAWAN MUSLIM INDONESIA"